Al-Qur’an adalah kitab petunjuk yang di dalamnya terdapat kisah-kisah penuh hikmah untuk menjadi cermin bagi umat manusia. Salah satu kisah yang agung adalah tentang kaum Saba’, yang Allah abadikan dalam firman-Nya:

“Sungguh, bagi kaum Saba’ pada tempat kediaman mereka benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah): (yaitu) dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (Kepada mereka dikatakan), ‘Makanlah olehmu dari rezeki Tuhanmu dan bersyukurlah kepada-Nya. (Negerimu adalah) negeri yang baik dan Tuhanmu Maha Pengampun.’”(QS. Saba’ [34]: 15)

Ayat ini memuat dua konsep besar: negeri yang baik (baldatun ṭayyibah) dan Rabb yang Maha Pengampun (rabbun ghafūr). Keduanya menjadi kunci keberkahan sebuah negeri: di satu sisi ada kualitas lahiriah berupa tanah subur, air melimpah, keamanan, dan kenyamanan hidup; di sisi lain ada kualitas batiniah berupa iman, syukur, dan ampunan Allah.

Sejarah membuktikan, kejayaan umat Islam bukan hanya lahir dari individu-individu yang shalih, tetapi juga dari negeri yang dipenuhi keberkahan. Negeri yang aman, subur, adil, dan makmur menjadi wadah bagi tegaknya tauhid, berkembangnya dakwah, dan tersebarnya ilmu.

Rasulullah صلى الله عليه وسلم menegaskan bahwa negeri yang dikelola dengan syariat Allah akan hidup dalam kemuliaan:

“Sesungguhnya imam (pemimpin) itu adalah perisai, manusia berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR. al-Bukhārī no. 2957, Muslim no. 1841)

Maka, memiliki negeri yang baik bukan hanya urusan politik atau ekonomi, tetapi juga urusan agama. Sebab di negeri yang ṭayyibah, iman akan terjaga, syariat bisa diamalkan, dan generasi bisa tumbuh dalam suasana penuh keberkahan.

Indonesia adalah negeri yang Allah karuniakan begitu banyak nikmat: tanahnya subur, airnya melimpah, lautnya luas, iklimnya bersahabat, serta dihuni oleh mayoritas kaum Muslimin. Potensi ini menjadikan Indonesia sangat layak untuk menjadi contoh baldatun ṭayyibah.

Namun, keberkahan itu hanya akan bertahan bila diikat dengan syukur dan ketaqwaan. Jika kufur nikmat, maka ancaman yang menimpa kaum Saba’ bisa menjadi pelajaran berharga:

“Tetapi mereka berpaling, maka Kami kirimkan kepada mereka banjir besar, dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi pohon-pohon yang berbuah pahit, pohon Atsl, dan sedikit pohon Sidr.”(QS. Saba’ [34]: 16).

Hari ini kita melihat masih banyak tantangan: kerusakan moral, kemiskinan, korupsi, perpecahan, dan lemahnya rasa syukur. Semua ini mengingatkan bahwa tanpa ketaqwaan, nikmat sebesar apapun bisa sirna.

Maka, membahas tema Baldatun Ṭayyibatun wa Rabbun Ghafūr menjadi sangat relevan bagi umat Islam di Indonesia. Ia bukan sekadar tafsir ayat, tetapi juga panduan hidup berbangsa: bagaimana menjaga nikmat, mensyukurinya, dan menjadikan negeri ini benar-benar negeri yang baik, di dunia maupun akhirat.