“Beberapa masa telah aku lalui, dan telah banyak pengalaman yang aku dapati, banyak orang yang telah hilang [dari jalan ini] dan muncul juga orang-orang [baru yang menggantikan mereka ini], aku telah melihat dan aku telah mendengar, aku terkadang meridhai dan aku juga terkadang memurkai, dan aku pun mendapatkan ilmu tentang “pergulatan” yang sebelumnya tidak kuketahui!
Maka, sudah menjadi keharusan bagiku: untuk tidak ragu dan tidak pula mundur, (tidak) sembunyi-sembunyi dan tidak pula berpura-pura.” (Perkataan Syaikh Mahmud Syakir rahimahullaah dalam Muqaddimah kitab beliau Abaathiil Wa Asmaar (hlm. 8), dan tambahan dalam kurung [ ] adalah dari saya.)
“Dan aku berharap agar Allah menjagaku (untuk tetap istiqamah) pada sisa waktuku.” (Perkataan Shahabat yang mulia: Ka’b bin Malik radhiyallaahu ‘anhu dalam kisah taubatnya yang masyhur, diriwayatkan oleh Al- Bukhari (no. 4418) dan Muslim (no. 2769).)
Keistiqamahan sangat dibutuhkan, agar kita tidak mengalami perubahan: dari kebaikan menuju keburukan, dari kema’rufan menuju kemungkaran, apa yang dahulu kita anggap kejelekkan kemudian sekarang kita anggap kebaikan -bahkan kita perjuangkan-?!
Hal ini telah diisyaratkan oleh Shahabat yang mulia, pemilik rahasia Nabi: Hudzaifah bin Al-Yaman radhiyallaahu ‘anhumaa, dia berkata:
“Sungguh kesesatan yang sebenar-benarnya adalah: engkau menganggap ma’ruf kepada sesuatu yang sebelumnya engkau anggap mungkar, atau engkau menganggap mungkar kepada sesuatu yang sebelumnya engkau anggap ma’ruf. Janganlah berubah-ubah dalam agama! Karena agama Allah itu satu.” (Al-Ibaanah al-Kubra (I/190), karya Ibnu Baththah (wafat th. 387H))
Sehingga, seorang penuntut ilmu sangat memerlukan ta’shiilaat (pondasi-pondasi) ‘ilmiyyah yang kokoh, dan juga mempunyai pengetahuan terhadap realita yang terjadi di sekitarnya; sehingga -nantinya- dia bisa mengetahui hukum dan solusi dari realita yang ada; dengan dikembalikan kepada ta’shiilaat (pondasi-pondasi) ‘ilmiyyah yang dia miliki. Sebagaimana hal ini telah diisyaratkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullaah dalam perkataannya:
“Seorang haruslah mempunyai prinsip-prinsip yang umum agar nantinya perkara-perkara parsial/cabang bisa dikembalikan kepadanya; agar dia bisa bicara berdasarkan ilmu dan keadilan, kemudian dia (juga perlu) untuk mengetahui hal-hal parsial itu dengan sebenar-benarnya (agar bisa menerapkan prinsip yang umum kepadanya-pent). Kalau (dia) tidak (mempelajari dan mempraktekan kaidah ini-pent); maka dia akan tetap berada dalam kebodohan dan kedustaan dalam perkara-perkara parsial/cabang, dan (berada) dalam kebodohan dan kezhaliman dalam prinsip-prinsip umum, sehingga muncullah kerusakan yang besar.(”Majmuu’ Fataawa (XIX/203))
Dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
“Aku tinggalkan bagi kalian dua perkara; yang kalian tidak akan tersesat setelahnya: Kitabullah dan Sunnah-ku, dan keduanya tidak akan terpisah sampai nanti mendatangiku di telaga.”(Shahih: HR. Al-Hakim (I/193), dari Abu Hurairah, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullaah dalam Shahiih al-Jaami’ ash-Shaghiir (no. 2937). Al-Hakim (I/193) juga meriwayatkannya dari Ibnu ‘Abbas. Lihat: Takhriij Hidaayah ar-Ruwaah (I/140-141, no. 184).)
“Maka, barangsiapa yang membangun perkataannya dalam ilmu: baik Ushuul (prinsip/pondasi) maupun Furuu’ (cabang/par- sial) di atas Al-Kitab, As-Sunnah dan atsar- atsar yang dinukil dari para (ulama) terdahulu; maka dia telah tepat dalam menempuh jalan kenabian.”(Majmuu’ Fataawa (X/363))
Wa Shallallaahu ‘Alaa Nabiyyinaa Muham- madin Wa ‘Alaa Aalihi Wa Shahbihi Wa Sallam (semoga Allah memberikan shalawat atas Nabi kita Muhammad dan atas keluarga serta Shahabatnya dan semoga Allah juga memberikan keselamatan).